Selasa, 05 Mei 2015

Gedung Bank Indonesia Pontianak. ( De Javasche Bank Pontianak )



 Salah satu indikator  majunya suatu daerah adalah
keberadaan lembaga keuangan/bank.
Anda setuju akan hal itu?




Bila anda setuju, dan dikaitkan dengan perjalanan sejarah kota Pontianak. Sepertinya kita yang ada di kota Pontianak bisa sedikit berbangga. Karena apa?  Karena keberadaan kantor  De Javasche Bank (DJB) di Pontianak  ini merupakan kantor cabang DJB pertama yang ada di Pulau Kalimantan.
Keberadaan kantor De Javasche Bank  ini tentunya merupakan salah satu bukti kemajuan ekonomi. Dan begitu strategisnya keberadaan Kota Pontianak,  di awal abad  sembilan belas. Namun akan hal tersebut bukan pula kita hanya sekedar bernostalgia akan masa yang lalu. Karena yang terpenting bagaimana sekarang kita bisa menjadi lebih baik lagi.
Kantor De Javasche Bank Cabang Pontianak dibuka pada tanggal 1 April 1906. Pada saat dilaksanakannya Oktroi kedelapan atau  oktroi DJB terakhir hingga berlakunya DJB Wet. (Oktroi merupakan ketentuan dan pedoman bagi DJB dalam menjalankan usahanya).  
 Sebagai kantor cabang DJB kesembilan dari seluruh kantor cabang  yang ada wilayah Hindia Belanda. Kantor cabang sebelumnya telah ada di Semarang, Surabaya, Padang, Makasar, Cirebon, Solo, Pasuruan dan Yogyakarta

Berada di Jalan Larivepark , kini Jalan Rahadi Usman. Bangunan kantor  menghadap kearah utara, kearah sungai Kapuas. Berdasarkan Platte Grond Van de Hoofdplaats Pontianak, 1  Maart 1934 (peta Pontianak 1934). Di sisi sebelah kanan (timur)  kantor  DJB  ini  terdapat   Residentie Kantoor/Kantor Resident,  Kantoor Gew Secretaris/Kantor Sekertaris Resident. Pada sisi sebelah kiri (barat) terdapat  Post Telegraf Kantoor/Kantor Pos-Telegraph. Dan di depannya terdapat Tennisvelden/ Lapangan Tenis.
Pada bagian belakang bangunan kantor DJB terdapat  rumah dinas pemimpin cabang. Sedang dua pejabat bank lainnya, yakni wakil pemimpin cabang, menempati rumah di  jalan Heerenstraat No.5,  kini  jalan Zainudin.  Dan pejabat kuasa kas, menempati rumah  di  Le Roeslerweg ,  kini (kemungkinan) sebagiannya  masuk  jalan Sidas.
Kemudian,  pada tanggal 22 April 1926  bangunan lama dibongkar. Berganti gedung baru yang dibangun kembali oleh Biro Architect en Ingineurs Bureau Hulswit Fermont ed Cuypers.
 Pimpinan DJB  Pontianak  yang pertama adalah J W Kempen. Kemudian dig anti oleh JF Van Ron, W Rolles, PJW Noodwyn, EGonggrype dst. Tercatat ada  sebelas  pimpinanDJB sebelum masa pendudukan Jepang. Dan hingga saat ini tercatat ada 43 pimpinan yang telah bertugas di Kantor DJB atau Kantor Bank Indonesia sekarang.
Bangunan dilokasi  ini sendiri masih digunakan sebagai kantor Bank Indonesia. Sebelum di pindahkan ke gedung baru di jalan Ahmad  Yani nomor 2 mulai  pada 26 Januari 2011.  Sekarang gedung bangunan ini untuk sementara dimanfaatkan untuk pelatihan/ incubator bisnis. Sambil menunggu kebijakan selanjutnya.
Sebagai salah satu bangunan dengan sejarah yang panjang.  Salah satu bukti kemajuan ekonomi dan begitu strategisnya keberadaan Kota Pontianak. Tentunya merawat dan menjaga keberadaaan bangunan ini menjadi salah satu tanggung jawab kita semua sebagai generasi.  Dimuat di Borneo Tribune,  Rabu,  14 November 2012

Gedung Sekolah HIS (Sekolah Dasar 14)




Kokoh, unik bersejarah.
Tiga kata yang  mungkin dapat mewakili keberadaan bangunan ini.
Gedung Sekolah Dasar Negeri  14



   Bagaimana tidak ?’ Bangunan  ini tampak kuno dan sangat berbeda dengan bangunan kebanyakan lainnya.  Seluruh struktur dan bagian bangunan menggunakan bahan baku kayu belian. Semakin unik dengan arsitektur khas. Berbentuk panggung,  memanjang menghadap barat laut. Atapnya berundak dua, dengan pint dan jendela yang berukuran besar. Sebagai sirkulasi udara. Tak heran di usianya yang sudah lebih dari satu abad ini, masih tegak berdiri.
Sejarah mencatat, bangunan dengan berbahan dasar  kayu belian ini merupakan salah satu sekolah pertama yang ada di Pontianak. Sebagai  Hollandsch Inlandsche School (HIS). Sekolah setingkat SD sekarang.
 Pemerintah Hindia Belanda mendirikannya pada tahun 1902,  untuk pendidikan volkschool
 Awalnya hanya untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka,. Baru pada tahun 1928, pemerintah Hindia Belanda memberikan pendidikan kepada orang pribumi. Namun hanya sebatas memperbolehkan anak-anak petinggi dan pejabat saja. Sedangkan anak-anak Indonesia yang berasal dari  orang kebanyakkan tidak diperbolehkan. Kemudian, setelah tahun 1950 tepatnya setelah kemerdekaan Republik Indonesia, masyarakat kemudian diperbolehkan dan mempunyai kesempatan merasakan mengenyam pendidikan.



Setelah mengalami dua kali renovasi. Sampai sekarang bangunan  ini masih difungsikan sebagai SDN 14. Sebagai salah satu benda cagar budaya,  keberadaan dan keaslian bangunan itu adalah untuk mempertahankan bukti-bukti sejarah. Agar masyarakat dapat mengetahui tentang perjalanan sejarah di Kota Pontianak. [dimuat di Borneo Tribune,  Senin, 12 November 2012]

Mesin Uap ‘ Sumur Bor’



Besar, hitam, kokoh
Tiga kata itu mungkin yang langsung terbayang di benak kita
begitu kali pertama melihat mesin air tenaga uap ini.



Keadaan geografis serta kondisi tanah di wilayah Pontianak yang berada di delta sungai dan berlahan gambut, berpengaruh besar pada kondisi air.  Air menjadi coklat terkadang kehitaman dan payau. Ketersedian air bersih pun menjadi salah satu alasan utama.
Untuk mencukupi konsumsi sehari-hari. Air hujan awalnya menjadi satu-satu jalan keluar.  Namun kadar asam yang tinggi juga tidak begitu ramah.  Belum lagi ketika musim kemarau yang membuat hujan lebih jarang turun. Kemudian dicarilah beberapa alternatif lainnya. Mencari tempat yang memungkinkan untuk adanya sumber mata air salah satu yang dilakukan.
Keberadaan Mesin Uap Sumur Bor ini tidak terlepas akan hal itu. Sejarah mencatat, pada sekitar tahun 1930an pemerintahan Hindia Belanda membuat sebuah sumur bor dengan pipa-pipa yang ditanam,  membangun kolam, menyiapkan bak penampungan air dan menempatkan Dampfmaschine  (Mesin Uap). Di satu areal tanah sekitar 1-2 km dari batas Selatan Tanah Seribu.

Salah satu pertimbangan dibuatnya sumur bor di lokasi ini kemungkinan adalah kondisi tanah yang lebih kuat dan lebih rimbun dibanding didaerah pemukiman ‘tanah seribu’ yang  berada di tepian sungai. Terlebih berdasar peta kota Pontianak tahun 1934, tak seberapa jauh dari nya merupakan areal  Landbouw Proeftuin (Experiment gardens / kebun percontohan).
Sehingga sangat besar kemungkinan, keberadaan Mesin Uap di Sumur Bor ini adalah bagian dari kebun percontohan yang dikembangkan oleh pemerintahan Hindia Belanda di Pontianak. Berfungsi untuk menjadi sumber air dan menyalurkannya. Baik untuk  keperluan di Landbouw Proeftuin maupun untuk kebutuhan air bagi penduduk di tanah seribu.
Hal ini menjadi sangat beralasan, karena di bagian mesin ini terlihat tanda Ruston-Proctor  Company. Sebuah perusahaan manufaktur yang berdiri sejak 1857 di Lincoln, Inggris. Dan merupakan perusahaan yang memproduksi mesin dan alat-alat pertanian.
Kini mesin uap tersebut berada tepat di halaman kantor Kecamatan Pontianak Kota. Kolam penampungan sekitar 2 x 6 meter masih terlihat sedikit di belakang mesin uapnya. Namun bak penampuangan air sudah tak terlihat lagi, hanya beberapa patok kayu belian yang tersisa. Sedang pipa-pipa yang ditanam juga sudah tak diketemukan lagi. Kemungkinan dulunya pipa ini berada dari lokasi kolam memanjang sampai keareal tanah di belakang SMP.
Berbicara tentang fungsi mesin uap sekarang ini memang sudah tidak relevan lagi karena tekhnologi telah berkembang. Namun berkaitan dengan sejarah, keberadaan Mesin Uap  yang berada tepat di halaman kantor Kecamatan Pontianak Kota, Jalan Pangeran Natakusuma  Kelurahan  Sungai Bangkong  Kecamatan Pontianak Kota ini menjadi satu bagian yang tak mungkin terpisahkan dalam perjalanan kota Pontianak. Untuk itulah meskipun bukanlah sebuah bangunan, mesin uap sumur bor ini telah ditetapkan sebagai salah satu  benda cagar budaya.

Sedikit perawatan dengan mengecat, memasang bagian yang telah copot  mungkin akan membuat keberadaan mesin uap ini menjadi lebih kokoh dan bersahaja. Dan memberikan informasi  tentang sejarahnya. Pasti akan sangat bermanfaat bagi semua. Bukan hanya untuk bernostalgia dengan sejarah, namun lebih dari itu, untuk  mengambil makna  dari usaha, keberadaan dan perjalanan waktu. [dimuat di Borneo Tribune,  Minggu, 11 November 2012]





Tugu Digulis



Tinggi menjulang beragam ukuran, berbentuk bambu runcing,
berwarna kuning dan berjumlah sebelas.
Terlihat begitu kokoh berdiri menancap di bumi.
Menandakan begitu kokoh perjuangan yang dilakukan.


Pagi menjelang siang, disekitaran tugu digulis, nampak beberapa orang dalam kelompok tengah bersiap-siap. Ada yang membentangkan spanduk, ada yang membawa bendera merah putih. Beberapa juga membawa atribut, sebagian dari mereka mengikat kepalanya dengan syal berwarna merah-putih.
Saya pun menghentikan laju sepeda yang saya kayuh. Menyandarkan sepeda di sisi barat daya dari tugu tersebut
Tak seberapa lama, seorang yang membawa pengeras suara maju kedepan. Kelompok itu bergerak, lebih mendekati bangunan tugu. Nampak begitu bersemangat. Panjang lebar ia berorasi dan ramai kelompok itu beriuh reda. Sesekali terdengar tentang kesejahteraan, reformasi, dan banyak lainnya. Ada juga beberapa kata yang  saya tangkap, tentang pemuda, sejarah, dan perjuangan.

Benak saya pun sekilas terbayang akan jejak rekam sejarah dan perjuangan yang membuat tugu ini ada. Tugu Digulis Kalimantan Barat.
Sejarah mencatat, bermula dari terbentuknya Sarikat Islam tahun 1914 di Ngabang. Kemudian pembentukkan Partai Sarikat Islam 1923. Menjadi salah satu bagian penting dalam sejarah pergerakan perjuangan rakyat Kalimantan Barat.
Karena khawatir pergerakan mereka akan memicu pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan ini. Seperti yang telah terjadi di Jawa dan Sumatera. Pemerintahan Hindia Belanda kemudian menangkap sejumlah tokohnya. Kemudian dibuang ke Boven Digul, di Papua. Dari nama tempat pembuangan penjara alam itulah, kemudian tugu ini disebut dengan Tugu Digulis.
Tiga dari meraka meninggal pada saat menjalani  pembuangan di Boven Digoel, lima dari para tokoh tersebut wafat dalam Peristiwa Mandor dan tiga orang lainnya meninggal karena sakit. Untuk menghormati dan mengenang kesebelas tokoh tersebut.
Nama-nama mereka juga diabadikan sebagai nama jalan di wilayah Kota Pontianak. Kesebelas tokoh itu adalah : Moehammad Sohor, asal Ngabang ; Moehammad Hambal alias Bung Tambal, asal Ngabang; Gusti Djohan Idrus, asal Ngabang, wafat dalam pembuangan di Boven Digoel. Haji Rais bin H. Abdurahman, asal Ngabang; Gusti Soeloeng Lelanang, asal Ngabang ; Gusti Moehammad Situt Machmud, asal ngabang ; Gusti Hamzah, asal Ketapang ;  Achmad Su'ud bin Bilal Achmad, asal Ngabang, wafat dalam Peristiwa Mandor; serta  Ya' Moehammad Sabran, asal Ngabang ; Jeranding Sari Sawang Amasundin alias Jeranding Abdurrahman, asal Melapi, Kapuas Hulu, meninggal karena sakit di Putussibau; Achmad Marzuki, asal Pontianak, meninggal karena sakit dan dimakamkan di makam keluarga.

Keberadaan Tugu Digulis sendiri tercatat mulai dibangun pada tahun 1986. Diresmikan oleh Gubernur Kalimantan Barat H. Soedjiman, 25 tahun lalu, tepatnya  pada 10 November 1987. Awalnya berbentuk sebelas tonggak menyerupai bambu runcing berukuran tinggi tertentu, dan berwarna kuning polos. Pada tahun 1995, monumen ini dicat ulang dengan warna merah-putih. Kemudian, pada tahun 2006 dilakukan renovasi dan pengecatan ulang kembali, sehingga berbentuk seperti saat ini.

Berada di areal kurang lebih seluas 1779 meter persegi (dengan diameter 47,4 meter). Di sekitaran sebelas bambu runcing ini juga terdapat taman yang memberi nuansa sejuk. Dan karena berada disalah satu jalan utama kota Pontianak, menjadikan kawasan ini sebagai salah satu tempat yang sangat strategis. Maka tak jarang aksi demonstrasi, unjuk rasa juga dilakukan di kawasan ini. Secara Administratif sekarang ini masuk ke dalam wilayah Kelurahan Bangka Belitung Darat Kecamatan Pontianak Tenggara.
‘jas merah-jas merah’… sekali dua kali saya juga sempat mendengar slogan itu di antara orasi. ‘Jas merah! Jangan sesekali melupakan sejarah. Jangan sesekali melupakan sejarah’. Saya pun terenyuk dengan kata-kata itu. Bagaimana mungkin kita melupakan sejarah, bila kita belum mengetahui sejarahnya. Bagaimana kita mengetahui sejarahnya, bila kita belum mendapatkan informasi tentang sejarah itu. Keberadaan tugu Digulis ini menjadi salah satu nya. Sampai saat ini kita belum mendapat infomasi yang terpampang di sekitaran kawasan tugu. Yang secara sederhana menjelaskan latar belakang sejarah berkenaan dengan keberadaan tugu ini. Semoga perjalanan kali ini membawa manfaat. [dimuat di Borneo Tribune,  Sabtu,10 November 2012]